Kamis, 17 Oktober 2013

Il capitao

Francesco Totti, Sang legenda

Kehidupan Francesco memang telah tergariskan. Sejak kanak-kanak, telah terarahkan kepada olahraga yang paling dikagumi dan dicintai di dunia, tidak lain tidak bukan: sepakbola.

Tertulis di bintang-bintang

Tahun 1976. Roma, eternal city alias kota abadi, siap menyambut kelahiran sebuah bakat, keteguhan, dan kemanusiaan: Francesco Totti. Seorang anak yang akan menjadi putra favorit kota Roma, menjadi simbol sekaligus pahlawan.
“Sepakbola amat berarti bagiku. Bagiku sepakbola adalah kegembiraan, sepakbola adalah kehidupan”.
Mitos sang gladiator bermula saat Enzo dan Fiorella (ayah-ibunya) mengajak putra keduanya yang baru berusia 10 bulan berlibur di pantai Adriatik. Tiba-tiba si bayi mencengkeram kuat-kuat bola saat ingin diambil kakaknya, Riccardo.
Sepakbola adalah teman pertama dan terbaiknya. Terdapat dua hal yang ada dalam mimpinya saat kecil: Real Madrid, sebuah simbol ketenaran dan hiburan dalam dunia sepakbola (fakta yang cukup mencengangkan, baru tau juga); Giuseppe Giannini, sang playmaker, kapten, dan pemain kunci AS Roma, yang juga dikenal sebagai “il principe” (sang pangeran) karena perilaku dan permainannya yang elegan.
Selama masa remajanya, Francesco mendedikasikan dirinya sepenuhnya, seluruh waktu dan harapannya, pada bola sepak. Jam demi jam bersama, Francesco dan bola sepak, pasangan yang tak terpisahkan, ditakdirkan untuk tidak saling mengkhianati (jadi teringat Captain Tsubasa nih, ternyata dalam dunia nyata memang terjadi). Ketekunan adalah kekuatannya: dengan waktu dan kesabaran, bunga telah siap mekar. Latihan menendang bola ke dinding tanpa henti, sesi mendribel bola tanpa batas, dan latihan mengoper dan menendang voli terus menerus: itulah yang membuat Francesco memiliki sensitivitas yang menakjubkan saat mengontrol bola, bisa dibilang, bola telah menjadi bagian tubuhnya sendiri.
Pergeseran dari bermain bola dengan teman-temannya, di taman dan di jalan, ke lapangan terasa nyaman dan natural, sebuah kemahiran seorang calon jagoan. Fortitudo, Smith Trastevere, dan Lodigiani: Francesco memberikan bakatnya yang brilian pada tiap tim yang diperkuatnya ini, setelahnya segera menjadi calon bintang dimata pelatih-pelatihnya.
“Aku sangat beruntung. Orang tuaku tidak pernah menekanku, mereka selalu mendukung dan membantuku”.
Ketenangan dari ayahnya yang kalem dan sabar, Enzo, menghilangkan ketegangan dari benak Fancesco, membuatnya semakin penuh berkomitmen dalam perjalanan karirnya. Intensitas dan energi dari ibunya, Fiorella, adalah penolong dalam karirnya yang tengah menanjak: ialah seorang yang memelihara keyakinan Francesco dan mendukungnya dengan banyak pengorbanan.
“Aku takkan pernah bisa membayar jasa-jasanya, Ibuku”.
Ayah dan ibunya, sumber kedamaian dan semangat: penempa yang paling penting baginya adalah keluarga.

Sosok yang akan menjadi legenda

Di usia lima tahun, bocah Totti meraih trofi pertamanya. Baru sembilan tahun hidup, nama Totti sudah menjadi buah bibir di Roma. Untuk itu, ibunya selalu menguntit Totti ke mana pun termasuk di Trigoria, markas latihan AS Roma. Si ibu cemas bila musim dingin tiba. Ia tak sungkan menelepon pelatih Totti untuk memastikan anaknya tidak kedinginan.
Ibunya setengah mati memproteksi Totti. AC Milan pernah didampratnya setelah menawari kontrak, sekolah gratis, dan rumah mewah. “Tak semeter pun Francesco keluar dari Roma! Camkanlah!” tutur Fiorella. Totti adalah anak mama, seperti seluruh anak lelaki Italia yang sampai kapan pun selalu dianggap bambino, anak mama.
“Aku bisa terus hidup selama mungkin tanpa makanan, tanpa air, tanpa udara” kata ibunya, “tetapi aku tak mampu bertahan barang semenit pun tanpa bambinoku” Tiada pria yang dikasihi sama besar oleh neneknya, ibunya, dan istrinya seperti Totti.
Kita jarang dapat memilih keputusan yang benar dari sebuah kesempatan dalam hidup. Takdir mendatangi Francesco dalam sebuah persimpangan: ia diinginkan oleh AS Roma dan SS Lazio. Pertentangan kedua klub abadi, dalam memperebutkan kejayaan sepakbola di kota Roma.
Apa yang terjadi tidak sesimpel kelihatannya, sebuah kombinasi hati, kekuatan, kejeniusan, keberuntungan, jiwa, dan warna…dua warna: merah pompei (merah campur oranye), merah yang berarti hasrat dan gairah, dan kuning keemasan, emas yang berarti keagungan dan kemuliaan. Francesco memilih bergabung dengan tim muda Roma. Malam itu, bulan pun seolah tersenyum di atas Colosseum. Saat itu, adalah awal dari sang legenda.
“Aku mendengar Roma memiliki seorang anak yang mengagumkan” ujar Giovanni Trappatoni, menyinggung Francesco Totti yang berusia 15 tahun.
Empat tahun berlalu dengan cepat, telah tiba saatnya untuk membuka halaman baru. Saat itu 18 Maret 1993, jelang akhir pertandingan Brescia-Roma. Roma tengah unggul 2-0 dan pelatih Vujadin Boskov memberikan debut Francesco di Serie A pada usia enam belas tahun, bermain di sisi idolanya, sang pangeran Giuseppe Giannini. Batas antara kenyataan dan mimpi masa kecil menyatu: bukti bahwa kita tidak boleh berhenti berharap akan mimpi-mimpi kita.
Tahun berikutnya, Roma dilatih oleh pelatih berpengalaman dan bersahaja, Carlo Mazzone. Semua pelatih besar, terutama yang memiliki pengalaman bermain di lapangan, yang menghargai kerja keras dan pengalaman, akan memahami potensi setiap pemain dan bahkan dapat memperkirakan masa depan pemain tersebut dari sekilas pandang. Mazzone, seorang asli Roma (Trastevere), melihat seorang juara di diri Francesco dan segera membawanya dalam asuhan dan pengamatannya. Mazzone bersabar dalam menggunakan Francesco, tidak memforsirnya dalam pertandingan, menghindarkannya dari tekanan yang berlebihan, menjaganya dari kehilangan kerendah hatian, melindunginya dari perhatian media, serta menyempurnakannya sebagai seorang gelandang serang, seorang fantasista yang brilian dan tidak bisa ditebak.
“Orang-orang, termasuk kritikus dan fans, hanya mengenalnya sebagai seorang pemain. Padahal karakter terbaiknya terlihat di luar lapangan, bukan di lapangan. Ia adalah seorang yang luar biasa: ia sederhana dan rendah hati, penolong dan menyenangkan, serta taat dan penurut” ucap Carlo Mazzone tentang Francesco Totti.
Terkait dengan kasus yang terjadi belakangan, mengenai tuduhan Mario Balotelli bahwa Francesco telah mengucapkan hinaan bernada rasis, Claudio Ranieri pun berkata “Siapapun yang menuduhnya sebagai seorang rasis benar-benar tidak mengenalnya. Setiap orang tua pasti menginginkannya sebagai seorang anak”.
Belanjut kembali ke cerita. Pada September 1994, di Stadion Olimpico yang dikenal sebagai kandang serigala, Francesco Totti di usia 18 mencetak gol pertama dan takkan terlupakannya di Serie A, dalam pertandingan Roma vs Foggia: melalui tembakan rebound akurat kaki kiri, sangat cepat dan mematikan seperti sayatan pedang. Roma segera dapat mengandalkan kualitas seorang penyerang kelas satu, sebagai alternatif striker Argentina Abel Balbo dan penyerang lincah Uruguay Daniel Fonseca. Di tengah kompetisi ini, Totti terus menambah penampilan dan golnya: pada masa kepelatihan Mazzone ia menjadi pemain inti yang tak tergantikan.

Nomor sepuluh dalam jiwa

Kreativitas, kepercayaan diri, kelihaian secara taktik, dan penyelesaian yang cepat: bunga itu akhirnya sepenuhnya merekah dan Francesco telah memiliki segala kemampuan untuk menjadi seorang gelandang serang modern. Di lapangan, ia naik-turun secara luwes dari lini tengah ke depan, berperan sebagai seorang finisher sekaligus pendukung striker, bebas seperti awan dan mematikan seperti elang.
Niels Liedholm berkata “orang tak segan akan membayar hanya untuk melihatnya bermain”.
Kekaguman, kepercayaan diri, dan harapan positif: masa kini dan masa depannya di dunia sepakbola teramat cerah. Namun demikian, mimpi bisa berubah seketika menjadi buruk tanpa peringatan. Tiada yang mengira di musim berikutnya sang juara akan mengalami masa yang dingin dan gelap.
Pada musim 1996/1997, Roma menunjuk pelatih Argentina Carlos Bianchi, pria dibalik kesuksesan klub di kota Buenos Aires, Velez Sarsfield. Namun demikian, sang pelatih baru datang ke Roma dengan prasangka akan kemalasan si pemain Roma: walaupun kemampuan Francesco telah diakui, melalui umpan-umpan akurat dan permainannya yang cemerlang. Mengejutkan, Bianchi hanya memperlakukannya sebagai pemain tengah biasa dan merasa dapat mengarungi musim tanpanya.
Roma selanjutnya harus menjalani bulan-bulan penuh kekalahan dan permainan tidak meyakinkan. Bianchi menekan klub untuk melego Francesco ke Sampdoria atau ke Ajax, untuk mendapatkan playmaker Finlandia Jari Litmanen. (Bianchi gila, bodoh, nyaris merubah sejarah).
(Semoga tidak ada lagi pelatih Roma yang menyia-nyiakan bakat-bakat muda potensialnya. Jadi teringat Simone Pepe, Gaetano d’Agostino, Daniele Galoppa, Alberto Aquilani, dll. Mungkin seandainya manajemen Roma lebih ngotot seperti mereka menahan Totti, mereka bisa jadi tumpuan andalan Roma di masa kini).
Kembali ke cerita. Kisah Francesco di Roma sepertinya benar-benar mendekati akhir, namun malam selalu lebih gelap sebelum fajar tiba. Dalam turnamen Citta di Roma yang prestisius, Roma bertanding melawan Ajax dan Francesco membuat Stadion Olimpico bergemuruh, dengan sebuah gol dan permainan yang brilian. Ia memenangkan pertarungannya dengan sang rival Litmanen.
Akhirnya, Carlos Bianchi memberikan Franco Sensi sebuah ultimatum: “pilih saya atau Totti?”. Sang pelatih Argentina berada di jalan buntu dan mengambil risiko, menyeret masa depan klub dan suporter bersamanya, berusaha menghilangkan pemain bintangnya yang hebat.
Meskipun begitu, Franco Sensi mencintai Roma sepenuh hatinya. Pada diri Francesco, ia melihat gambaran: ia akan menjadi masa depan Roma. Seperti banyak pemain hebat di masa lalu, Francesco akan mendapatkan nomor sepuluh, karena bakat dan jiwanya.
“Aku melihat seorang putra yang tak pernah kumiliki pada diri Francesco” ungkap Franco Sensi.
Setelah musim yang mengerikan itu, perpisahan dengan Carlos Bianchi tidak terelakkan. Hidup tersusun dari kebenaran yang tak dapat disangkal: sebagai atu-satunya pelatih yang tidak mempercayai kemampuan Francesco Totti adalah kesalahan terbesar dalam menangani Roma.

Pemimpin yang gigih

Kisah Zdenek Zeman di Roma dimulai pada musim panas 1997, bersamanya Roma memperoleh baik seorang pelatih sekaligus filosof. Nama Zeman identik dengan sepakbola yang cepat dan ofensif, permainan terbuka dan berani serta tidak dapat ditebak: sebuah hiburan bagi mata yang melihatnya.
Sesi latihan Zeman merupakan yang terberat pernah dihadapi Francesco, tapi ia tidak pernah menyerah dan pengorbanannya terbayar. Tahun-tahun bersama Zeman menjadi masa sang fantasista memperoleh kematangannya. Melalui latihan persiapan dari pelatih asal Republik Ceko ini, membuat Francesco berlari lebih cepat dan membuatnya lebih kuat secara fisik: kini ia benar-benar menjadi luar biasa.
Roma mendapat pakemnya, suporterpun menyukainya, pertandingan semakin memikat dan Francesco amat pas berada dalam skema penyerangan: formasi 4-3-3 yang mematikan, formasi yang disusun untuk memudahkan penyerangan dari segala penjuru lapangan dan memberikan tiga striker peluang tanpa henti. Zeman menaruhnya di sayap kiri, dengan kebebasan untuk menyeruak ke depan, ke pertahanan lawan: menjadikannya pemain kunci dari skema utama Roma.
Zdenek Zeman bertanya: “Siapakah lima pemain top Italia?”. Diam. Hening. Kemudian: “Totti, Totti, Totti, Totti, Totti”.
Francesco mencetak tiga belas gol pada musim tersebut, diantaranya terdapat ciamik seperti tembakan ship ke gawang Buffon (Parma), gol cungkil pertamanya. Selain itu, Francesco juga menciptakan banyak assist brilian untuk rekan-rekannya di lini depan seperti Marco Delvecchio, Abel Balbo, dan Paulo Sergio. Karena kreativitasnya, ketiganya mampu mencetak gol secara rutin.
Hanya pria yang hebat yang mampu melakukan sesuatu yang fenomenal dan membuatnya terlihat mudah. Pada Oktober 1998: Francesco baru berusia 22 tahun saat mendapat ban kapten, sebuah penghargaan dari rekan setimnya dan para suporter.
“Un capitano, c’e solo un capitano, un capitano”, “Satu kapten, hanya ada satu kapten, satu kapten”. Begitulah salah satu lagu yang dinyanyikan di Curva Sud, khusus didedikasikan untuk Francesco Totti.
Bagi setiap orang, Francesco dikenal sebagai bimbo de oro (golden boy/anak emas), seperti Diego Armando Maradona (pibe de oro).

Menyingsing millenium

Francesco telah memasuki tim nasional junior Italia sejak dini, sebagai aktor utama. Italia dibawanya menjadi runner up Piala Eropa U-18 1995, juara Piala Eropa U-21 1996, dan juara dalam Turnamen Mediterania 1997 dengan tim U-23. Sang fantasista selalu mencetak gol dalam ketiga parta final, membuktikannya sebagai pemain yang amat menentukan.
Debutnya di tim nasional senior terjadi pada Oktober 1998. Piala Dunia Prancis 1998 yang menjemukan baru berakhir, dan Francesco menjalani penampilan pertamanya bersama Italia saat melawan Swiss dalam kualifikasi Piala Eropa. Setelah gol perdananya saat melawan Portugal, ia telah menjadi pemain yang rutin dipanggil oleh pelatih Dino Zoff.
Piala Eropa 2000 tiba dan Francesco menjawab tantangan selayaknya seorang juara. Italia melaju dalam kompetisi ini dan menenggelamkan satu persatu lawannya. Francesco menghibur khalayak dengan gerakan-gerakannya serta golnya yang menentukan: sebuah sundulan saat menghadapi Belgia dan tembakan mematikan saat melawan Rumania di perempat final.
Tantangan terbesar dihadapi Italia saat ditantang Belanda di semifinal. Seorang pemain Italian telah dikartu merah sejak awal, dan pertandingan mutlak dikuasai oleh tuan rumah. Italia bertahan dengan heroik hingga babak adu penalti, babak yang selalu membawa kesialan bagi Italian selama dasawarsa terakhir.
“Aku akan mencoba tendangan cungkil”, bisik Francesco pada rekan setimnya saat gilirannya tiba. Van der Sar yang menjulang tinggi berada diantara mistar gawang Belanda, dan suporter Belanda berada tepat di belakang gawang, membuat tensi meninggi: membayangkan tendangan chip saat penalti seperti sebuah kemustahilan. Atau sebuah kejeniusan? Francesco adalah seorang yang selalu memegang janjinya dan selalu berusaha memenuhinya: sebuah sepakan chip yang lembut, sang kiper telah tertipu dan bola dengan mulus masuk ke jala. Sebuah gol yang patut dikenang.
Setelah mengalahkan tim oranye dan kutukan penalti, Italia menghadapi Prancis. Francesco menghidupkan partai final, membuktikan tiada pemain lain di lapangan yang sanggup menandinginya: ia mengelabui bek Prancis dengan back heel dan memulai aksi yang membuat Italia unggul di awal. Setelah itu, bermunculanlah umpan dan assist darinya yang sayangnya banyak disia-siakan rekan setimnya di lini depan. Sayangnya, kemudian Prancis berhasil membalik situasi dan mencetak golden goal.
Sang kartu as Roma terpilih menjadi pemain terbaik dalam turnamen. Tendangan cungkil dari titik penalti dan skillnya yang luar biasa mempesona Eropa dan dunia: pengakuan internasionalnya yang pertama.

Untuk kejayaan Roma

“Roma non si discute. Roma si ama”, “Roma tidak untuk dipertanyakan. Roma itu untuk dicintai”. Begitulah salah satu lagu para romanista.
Musim panas tahun 2000, telah tiba saatnya. Gairah, kegembiraan, keterkejutan, kenangan dalam jiwa setiap romanista. Kemenangan. Franco Sensi telah mengubah hasrat dan keinginan menjadi hasil karya yang luar biasa: dalam beberapa minggu di musim panas saat itu berdatanganlah sekumpulan gladiator baru di Roma, bergabung dengan sang kapten menciptakan pasukan tak terkalahkan.
Pelatih “Don” Fabio Capello, terpilih pada tahun 1999, seorang pelatih yang mampu menginspirasi mental pemenang para pemain, sekarang dapat berharap pada timnya yang luar biasa: bek sayap luar biasa, Candela dan Cafu, “the wall” Samuel, “puma” Emerson, “shogun of the east” Nakata, pemain lincah “top gun” Montella, “lion king” Batistuta, dan beberapa pemain lain. Francesco tidak lagi menjadi bintang tunggal di Roma.
Musim itu berjalan dengan fantastis. Francesco berperan dimana-mana: memberikan umpan kepada rekan-rekannya, membangun semangat, dan mencetak gol, seperti sebuah gol luar biasa saat melawan Udinese, tendangan voli kaki kiri yang teramat keras…seperti meteor, menghasilkan standing ovation dari suporter kedua kubu.
Hanya Juventus yang menjadi satu-satunya rival musim itu. Bianconeri berusaha hingga musim berakhir, namun giallorossi tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Kemenangan terbaik, yang paling mengesankan, tentu saja yang diraih pada pekan terakhir. Pada 17 Juni 2001, kemenangan dalam pertandingan terakhir melawan Parma di Stadion Olimpico berbuah gelar juara.
“Wahai suporter Roma, kali ini adalah 90 menit terpenting dalam sejarah kita, 90 menit yang telah kita tunggu-tunggu selama 18 tahun. Hari ini semua bergantung pada kita sendiri. Romanista…bersoraklah dan biarkan suaramu terdengar…” seru Carlo Zampa.

Tak pernah tanpamu

Kekuatan seorang atlit akan semakin kuat bila ada seorang yang harus dicintai, dilindungi, dan diperjuangkan. Begitupun Francesco, pada akhirnya ia mendapatkan permata yang paling berharga, cinta Ilary.
Selain sebagai gadis panggung yang cantik, Ilary Blasi adalah seorang wanita yang sederhana dan baik hati. Keriaannya telah menaklukkan sang juara, pria yang selalu mewakili kesederhanaan dan kemanusiaan. Pada 18 Juni 2005, mimpi mereka berdua terwujud: dunia turut bergembira dalam sebuah pernikahan yang sempurna, sementara pendapatan/keuntungan (angpao) yang didapat dari prosesi pernikahan itu seluruhnya disumbangkan untuk amal.
Kebaikan hati sang kapten terlihat pula pada 2003, Francesco menjadi duta besar UNICEF dan selalu berada di garis depan untuk melindungi hak-hak anak. Ia memang selalu berkeinginan menjadi pelindung orang-orang kecil dan tak berdaya.
“Totti telah dikenal di penjuru dunia, namun ia tetap bersahaja, jujur dan tidak terlalu serius. Ia memiliki hati emas dan mencintai anak-anak” tutur Carol Bellamy, mantan Direktur Jenderal UNICEF.
Pada Februari 2005, tentara pemberontak di Irak menculik wartawati Giuliana Sgrena sehingga menggegerkan negeri. Tiba-tiba tanpa ada yang mengetahui rencananya, Totti bertindak. Di sekujur lapangan Stadion Olimpico, ia berlari dengan memakai kaus bertuliskan “Bebaskan Giuliana”.
Selang beberapa hari, Sgrena dibebaskan. Lalu Dunia memberitakannya tanpa tahu yang sebenarnya terjadi. Seperti pengakuan Sgrena, salah satu penculik itu ternyata melihat tingkah Totti saat menonton pertandingan Serie A. “Orang itu adalah pemuja Totti dan hatinya jadi trenyuh menyaksikan dedikasi Totti untuk seorang wanita,” ucapnya.
Totti merupakan campuran kelembutan dan eksibionis, homophilia dan machoisme. Sebagian besar wanita banyak memburu majalah resmi AS Roma, Il Romanista, sebagai teman tidur. Yang mereka harapkan jelas: seluruh artikel dan foto-foto Hotti Totti, si simbol seks Italia.
Totti disenangi segala kalangan. Di Roma, ia disegani baik romanista maupun laziale. Di Tokyo ada banyak grup penggemar Totti. Di Ankara berdiri sebuah website Totti. Totti pula, bukan David Beckham, yang diidolakan penyanyi Inggris kelahiran Manchester, Robbie William.
Francesco selalu mengharapkan seorang anak berambut pirang disisinya, dan takdir membuatnya nyata: putranya, Cristian, lahir di musim gugur 2005, dan satu setengah tahun kemudian Chanel yang manis pun lahir di musim semi. Keduanya memiliki rambut pirang dan mata biru.
“Kelebihan utama Ilary yaitu ia seorang ibu yang luar biasa dan mimpiku adalah tetap bersamanya sepanjang hidupku”.
Perasaan yang jernih adalah landasan Francesco. Pada kenyataannya, ia selalu menginginkan orang yang jujur dan bisa dipercaya di sisinya: kakaknya Riccardo, sebagai agen dan penasihat hukumnya, serta Vito, pelatih pribadi sekaligus teman terdekatnya.
Loyalitas adalah benang yang mengikat antara sang kapten dengan Roma. Klub dengan pencapaian fantastis seperti Real Madrid dan AC Milan telah lama mengincarnya dan siap memberikan penawaran monumental.
Beberapa hal tidak dapat dinilai dengan uang, termasuk kehormatan dan kesetiaan. Karena cinta, Francesco memilih kesetiaan dan dedikasi, kepada klub, kota, dan orang-orang yang memandangnya sebaga simbol dan pahlawan: Roma.
“Aku lahir dan tumbuh di Roma, dan aku akan mati di Roma pula”.

Pria sejati kota Roma

Italia selalu terpecah belah setiap pekan manakala Serie A digelar. Utara vs selatan berarti kapitalis kontra sosialis, fasis lawan nasionalis atau kaya dan miskin. Konon, itulah yang membuat kemakmuran Italia bukan datang dari semangat inovasi, tetapi oleh kesabaran.
Di utara, pria yang terlihat tampan diidentikkan dengan kelemahan intelegensia. Di selatan, lelaki dengan setelan keren dan perlente justru kebalikannya. Dan, Totti adalah selatan. Ia berusaha agar tak berkeringat di lapangan. Apalagi menginjak rumput sembarangan atau berteriak-teriak, tetapi selalu grogi di depan kamera televisi.
Totti, kata filsuf olahraga kenamaan Mario Sconcerti dalam karya La Differenza di Totti, adalah fantastita Italia paling sempurna di dalam dan di luar lapangan. “Pikirannya sederhana karena jarangnya dia membaca atau datang ke perpustakaan. Tetapi, semuanya itu akan berubah jika dia berada di lapangan.”
Totti adalah Roma. Sudah 17 tahun ia membelanya dan saling mencintai. Tak sekalipun ia punya pikiran pergi keluar Italia seperti halnya kebanyakan pemain Italia. Mereka tak mau kehilangan masakan ibunya, tak mau kehilangan belaian istrinya, kekasihnya. Maka dari itu, mayoritas dari mereka tak pernah mau belajar bahasa asing.
Lebih-lebih, ia tak mau kehilangan atmosfer Olimpico. Di sana, kaum Romanista selalu menyambut gladiatornya lewat orkestra dan prosesi mengagumkan, “Inilah dia, kapten kecintaan kita, sang kaisar Roma, Francesco… Totttiiii!” Dia adalah pria yang narcis, takut terlihat buruk sebab Totti selalu mendambakan bellezza, keindahan, di mana pun.

Tendangan yang menaklukkan dunia

“Totti adalah seorang juara yang luar biasa, yang saya hormati karena kesetiaannya pada klubnya. Bagi beberapa orang, di Roma, ia bahkan lebih penting dibandingkan sang Paus” ujar Thierry Henry.
Pada tahun 2005, Roma mulai mempertontonkan permainan yang mengagumkan dan menggoda tiap penonton sepakbola, lincah dan tajam. Revolusi ini dibawa oleh Luciano Spalletti, yang ditunjuk Roma setelah pengalaman positifnya di Udinese.
Cukup mengheranan, sang pelatih menaruh Francesco sebagai seorang striker, didukung oleh tiga gelandang dinamis yang mengerti bagaimana menembak dan menembus pertahanan lawan. Hasilnya cukup mencengangkan: sang kapten menjadi ujung tombak andalan, setiap saat dapat memilih untuk menembak langsung ke gawang dengan akurasi yang impresif atau dengan cepat mengumpan kepada rekannya dengan sedikit sentuhan. Di lapangan, Francesco bermain dengan kecepatan tinggi, membuat Roma bermain laksana kilat.
Bagi Roma, saat itu adalah awal era supremasi/keunggulan dan hiburan. Sejak bulan Desember, Roma mencatat sebelas kemenangan beruntun: sesuatu yang belum pernah dicapai klub lain di Italia sebelumnya. Pemain muda yang matang, Daniele De Rossi sekarang berada di sisi Francesco: sebagai seorang teman, gelandang, dan pria asli Roma. Dengan mencontoh Francesco, Daniele pun menjadi pilar penting tim.
Musim berikutnya menjadi persaingan antara Inter dan Roma. Giallorossi mampu bertahan dalam menghadapi kekuatan ekonomi Nerazzuri, dan memainkan sepakbola terindah di Eropa, merebut dua kali Coppa Italia dan sebuah Supercoppa: tiada yang lebih memuaskan daripada mengalahkan klub yang kuat dan besar.
Pada Oktober 2005, Francesco mencetak gol terbaik dalam karirnya kala pertandingan melawan Inter. Membawa bola dari daerah lapangan sendiri, mendribel bola melewati lawan demi lawan. Gawang masih jauh, namun setelah memandang sekilas kiper lawan (Julio Cesar) maju beberapa langkah dari garis gawang, Francesco secara luar biasa melakukan tendangan chip jarak jauh, sempurna dan mematikan. Suporter Inter di San Siro turut memberi aplaus, kagum akan sebuah pertunjukan sepakbola yang indah.
“Totti adalah yang terbaik dari mereka” kata Massimo Moratti.

Di singgasana dunia

Sekilas tatapan. Dari titik penalti, mata biru sang nomor sepuluh memandang ke depan: pengendalian diri dan keteguhan pendirian.
Bagi tim nasional Italia, perdelapan final di Piala Dunia melawan Australia yang ditukangi oleh ahli strateginya, Hiddink, adalah pertandingan yang teramat berat. Disamping itu, Italia telah bermain dengan sepuluh orang sepanjang pertandingan dan tim mengalami kelelahan. Apabila terjadi perpanjangan waktu akan fatal dan adu penalti tidak dapat diprediksi. Pertandingan ini harus diakhiri secepatnya.
Hanya seorang yang menerima tantangan mengambil penalti, seorang yang tidak pernah bersembunyi: Francesco Totti. Seluruh dunia menyaksikan dan Italia berdoa, waktu seolah berhenti.
Francesco bergerak: bukan tendangan biasa, melainkan tendangan geledek yang akurat laksana lesatan anak panah dan kuat seperti pukulan palu. Tiada yang bisa dilakukan sang kiper, tiada seorangpun bisa. Dalam momen keputusasaan, ketika pintu menuju partai puncak nyaris tertutup, kaki kanannya menjadi kunci.
Pada awalnya dimulai dengan sebuah mimpi buruk. Hanya tiga bulan sebelum Piala Dunia: dalam pertandingan menghadapi Empoli, sang kapten ditekel secara brutal dari belakang, membuatnya jatuh dan engkelnya cedera. Sebuah cedera yang mampu mengakhiri karir seorang pemain.
Semuanya seolah akan berakhir. Namun, dalam momen terberat dalam hidupnya, Francesco menunjukkan kekuatan sebenarnya. Ketabahan Francesco muncul: ia memiliki keinginan sekuat baja. Sebuah keajaiban, tiada yang pernah sembuh begitu cepat sebelumnya. “Aku akan pergi ke Jerman” katanya sambil tersenyum.
Marcello Lippi, pelatih tim nasional, tidak pernah berhenti menunggunya, ia menyadari bahwa Francesco memiliki bakat terbesar di Italia dan dia mengandalkannya dalam Piala Dunia. Italia melewati semua rintangan, termasuk tuan rumah Jerman, dan meraih tiket ke final.
Pada hari penentuan, pasukan Azzurri yang gagah berani menghadapi rival mereka, Prancis, yang memunculkan banyak kenangan menyedihkan. Untuk pertama kalinya, Domenech memerintahkan penjagaan ganda bagi Francesco, Thuram dan Makelele.
Tiada penjagaan mampu menahan takdir. Malam itu, tiada yang bisa menyelamatkan Prancis dan langit Berlin berubah menjadi biru azzurri.
Kejatuhan dan kebangkitan, kepalan tangan dan ketahanan akan rasa sakit, penalti yang gagah berani dan empat assist yang canggih: Francesco akhirnya dapat meraih titel Piala Dunia.
Keajaiban yang tak lekang waktu
“Aku tidak iri pada siapapun, aku memiliki semuanya: pekerjaan terbaik di dunia dan keluarga yang utuh”.
Sadar akan keberuntungannya, kejujurannya tidak berubah, kehangatan senyumnya, cinta kepada kekasihnya, ikatan erat dengan keluarganya: inilah hati seorang Francesco Totti.
“Aku mencintai anak-anak, seperti keponakanku Giulia yang berlari kepadaku dan mencium paman Francesco, bukan Totti”.
Pengalaman hidup telah membuat Francesco lebih kuat. Dengannya Roma telah berhasil meraih kemenangan-kemenangan bersejarah di Liga Champions, seperti melawan Olympique Lyon dan Real Madrid.
Tiada pemain lain yang mampu menyaingi kontinuitasnya, seorang atlit yang mampu bermain di level atas bertahun-tahun. Si nomor sepuluh dari Roma telah memperoleh banyak gelar pribadi, diantaranya:
  • Pemain muda terbaik Serie A 1999
  • Pemain terbaik Serie A 2000 & 2003
  • Pemain terbaik Italia 2000, 2001, 2003, 2004, & 2007
  • FIFA 100 great players
  • Top skor Serie A 2007
  • Sepatu emas Eropa 2007
  • Bola perak (penghargaan fair play) 2007-08
  • Pencetak gol terbanyak Roma sepanjang sejarah
  • Penampilan terbanyak Roma sepanjang sejarah
  • Pencetak gol terbanyak Serie A yang masih aktif
Francesco selalu menjadi pemain yang menentukan. Kita tidak bisa lupa akan tiga kali gol dari tendangan bebeas saat melawan Milan di Coppa Italia, tendangan kilat saat menjebol gawang Sampdoria. Tendangan geledek, chip, sundulan, penalti yang membuat kiper lawan mati langkah: sebuah daftar yang tidak berakhir.
Pada tahun 2007, sang kapten menjadi top skor Serie A, bahkan merengkuh sepatu emas, penghargaan bagi pencetak gol terbanyak Eropa. Walaupun terlahir sebagai gelandang serang, Francesco berhasil mengalahkan striker-striker yang ditakuti di Eropa, seperti Ruud van Nistelrooy. Semua di belakangnya, tanpa kecuali.
“Francesco Totti adalah pemain terbaik di dunia” ucap Pele.

Penghargaan terbaru

Kapten Roma Francesco Totti menyatakan akan mengabdi sepenuhnya kepada AS Roma setelah mendapatkan penghargaan khusus dari Komite Olimpik Italia (CONI) karena menghabiskan seluruh karirnya di klub kota kelahirannya itu. Ia menyatakan sangat mencintai Roma lebih dari apapun di dunia.
Totti telah membela Roma sejak awal kariernya pada tahun 1992. Selama hampir 18 tahun di Roma, ia telah 441 kali membela Giallorossi dan mencetak 192 gol bagi klub ibukota tersebut.
“Saya ingin berterima kasih pada CONI atas penghargaan yang mereka berikan kepada saya,” tulis pemain berusia 33 tahun di website resminya. “Saya melihat motivasi mereka untuk memberi penghargaan ini sangat berarti, yaitu untuk mengikat seluruh karir saya di kota Roma,” menurut Pangeran dari Roma itu.
Totti merasa penghargaan itu adalah sebuah bukti dari penngabdian dan kesetiaannya kepada Roma yang kemudian membentuk karakter Totti serupa dengan Roma. Bisa dikatakan Totti adalah Roma dan Roma adalah Totti, dua hal yang mungkin tidak akan pernah bisa dipisahkan. “Ini adalah bentuk dari rasa memiliki yang memberi saya karakter selama bertahun-tahun dan satu-satunya yang memberi saya kekuatan. Semua yang saya cintai di dunia, ada di sini,” ungkap Er Pupone.
Semoga Francesco bukan menjadi gladiator terakhir Roma, dan Roma mampu menelurkan juara-juara lain yang mampu membawa kejayaan Roma di Italia, Eropa, bahkan Dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar