BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah besar
yang dihadapi oleh pendidikan nasional, antara lain persoalan mutu, relevansi,
efektifitas, dan efisiensi pendidikan. Masalah-masalah ini menimbulkan
keresahan pada masyarakat yang sering kali terdengar. Keresahan tersebut harus
segera ditanggapi secara serius dan egera dipecahkan demi suksesnya pendidikan
yang juga berarti pembangunan bangsa.
Pendidikan
Agama Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan kepada
siswa mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang syarat dengan
muatan nilai. Dalam konteks NKRI yang notabene mayoritas masyarakatnya memeluk
agama Islam, seharusnya PAI mendasari pendidikan-pendidikan lain,serta menjadi
inti dan primadona bagi masyarakat, orang tua, dan peserta didik. Mata
pelajaran PAI juga sebaiknya mendapat waktu yang proposional, bukan hanya di
madrasah atau sekolah-sekolah yang bernuansa Islam, tetapi di sekolah umum.
Demikian pula halnya dalam peningkatan mutu pendidikan, PAI harus dijadikan
tolak ukur dalam membentuk watak dan kepribadian peserta didik serta membangun
moral bangsa (nation character building).
Oleh sebab itu
peran seorang guru Pendidikan Agama Islam sangatlah penting dan tidak bisa
dipandang sebelah mata. Karena seorang tenaga pendidik PAI bertugas untuk
mengembangkan suatu system perbaikan yang berkesinambungan sehingga dapat
meningkatkan perbaikan mutu yang berkelanjutan (continuous quality
improvement), karena sampai sekarang tampak bahwa perbaikan yang dilakukan
hanya bersifat parsial dan tambal sulam. Hal iniperlu ditekankan lagi jika
dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang sedang berubah, sebagai akibat dari
percepatan arus informasi, dan globalisasi.
Kemudian
bagaimana tugas dan tanggung jawab seorang guru Pendidikan Agama Islam akan
diterangkan secara mendetail di keterangan yang lebih lanjut di makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
karakter guru Pendidikan Agama Islam ?
2. Bagaimana
tanggung jawab moral guru Pendidikan Agama Islam dalam dunia pendidikan ?
3. Apa
fungsi dan tugas guru Pendidikan Agama Islam ?
4. Bagaimana
mengembangkan profesionalisme guru Pendidikan Agama Islam ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan
bagaimana sebenarnya karakter guru Pendidikan Agama Islam
2. Menjelaskan
dan menguraikan apa saja tugas dan fungsi guru Pendidikan Agama Islam
3. Menjelaskan
apa tujuan dari guru Pendidikan Agama Islam
4. Menjelaskan
bagaimana cara mengembangkan profesionalisme guru Pendidikan Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.Karakter
Guru Pendidikan Agama Islam
Disini saya selaku pemakalah akan
menjelaskan beberapa perilaku guru Muslim sebagai suri teladan bagi orang lain.
Juga, untuk menjelaskan beberapa kekurangan dan cara mengatasinya secara
gambling demi menggapai kesempurnaan manfaat yang aada.
Sikap guru muslim dalam berpakaian.
Sangat disayangkan, ada beberapa guru yang berpakaian namun tidak disesuaikan
dengan usiannya, sehingga para murid merasa bahwa tidak ada perbedaan antara
dirinya dengan gurunya. Warna pakaiannya sama, dan bentuknya pun tidak jauh
berbeda. Penampilan guru yang seperti ini bisa mengurangi penghormatan para
murid kepada dirinya.
Jika dilihat secara mendasar, sebenarnya asas hukum
dalam semua bentuk pakaian dan berpakaian dalah halal selagi selagi tidak
menyerupai lawan jenis. Yang terpenting dalam berpakaian adalah meutup aurat.
Yang dimaksudkan adalah bahwasannya Islam tidk memaksa seseorang untuk memakai
pakaian tertentu, namun Islam hanya menjelaskan sifat-sifat dari pakaian
tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya :
Artinya :
“Hai anak Adam (umat manusia)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa (selalu bertakwa kepada Allah)
Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Oleh karena itu, dianjurkan kepada para
guru untuk memakai pakaian yang rapid an tidak berlebih lebihan. Di samping
itu, mereka juga dianjurkan untuk menjaga karakter fitrah, seperti memotong
kuku, mencukur rambut, memotong kumis, dan sebagainya.
Kemudian para guru juga harus memilih kata-kata yang
baik lagi santun. Janganlah seorang guru Pendidikan Agama Islam berucap kecuali
untu mengeluarkan kata-kata yang indah lagi bernilai, karena murid-murod yang
ada di hadapan seorang guru akan merekam kata-kata seorang guru di dalam memori
ingatannya. Sebagaimana petuah Rasulullah SAW yang tertuang di dalam haditsnya
:
Artinya :
“Sesungguhnya
diantara kalian ada yang mengucapkan kata-kata (baik) yang diridhai Allah, dan
tidak tahu kadar derajat kemuliaan kata-kata itu. Maka dengan kata-kata
tersebut, Allah melimpahkan ridha-Nya kepada oaring itu hingga hari perjumpaan
nanti (hari kiamat). Dan sesungguhnya diantara kalian ada yang mengucapkan
kata-kata (buruk yang dimurkai Allah, dan tidak tahu derajat kehinaan kata-kata
itu. Maka dengan kata-kata tersebut, Allah menetapkan murka-Nya kepada orang
tersebut hingga hari perjumpaan nanti (hari kiamat)” (HR. at-Tirmidzi)
Kemudian adapun
juga karakteristik seorang guru muslim ialah :
1.
Ruhiyah
dan akhlakiyah. Hal ini di ejawantahkan dengan beriman kepada Allah, beriman
kepada Qadha’ dan Qadar Allah SWT, beriman dengan nilai-nilai Islam yang abadi,
melakukan perintah-perinyah yang di wajibkan agama dan menjauhi segala yang
dilarang agama, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
2.
Asas
dan penompang guru dalam mengajar adalah untuk menyebarkan ilmu dan demi
merengkuh pahala akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Sampaikanlah
ilmu yang berasal dariku (kepada umat manusia) walaupun hanya satu kalimat.”
3.
Tidak
emosional. Yang dimaksud ialah mampu mengekang diri, meredam kemarahan, teguh
pendirian, dan jauh dari sikap sembrono (sikap yang tidak didasari dengan
pemikiran matang).
4.
Rasional.
Sifat seperti pandai, mampu untuk menyelesaikan permasalahan dengan baik,
cerdas dan cekatan, serta kuat daya ingatannya.
5.
Sosial.
Yang termasuk dalam sifat ini adalah menjalin hubungan baik dengan orang lain,
baik dikala senang maupun susah, khususnya dengan orang-orang yang bertanggung
jawab dalam dunia pendidikan.
6.
Fisik
yang sehat. Yang dimaksud dengan sifat ini adalah kesehatan badan, ketangkasan
tubuh, dan keindahan fisik.
7.
Profesi.
Yang termasuk dalam sifat ini adalah keinginan dan kecintaan yang tulus untuk
mengajar, serta yakin atas manfaat dari pengabdiannya terhadap masyarakat.[1]
Selain itu juga, dalam proses belajar mengajar, guru pendidikan
Agama Islam juga memegang peran sebagai sutradara sekaligus actor. Artinya,
pada gurulah terletak keberhasilan proses belajar megajar. Untuk itu guru
merupakan factor yang dominan dalam menentukan keberhasilan proses belajae
mengajar, di samping factor-faktor lainnya.
Dengan demikian, untuk mencapai keberasilan tersebut, seorang guru
Pendidikan Agama Islam harus memiliki kemampuan dasar dalam melaksanakan
tugasnya. Salah satu kemampuan tersebut adalah kemampuan pribadi guru itu
sendiri.
Kemampuan pribadi giri dalam proses belajar mengajar secara rinci
dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Berdisiplin
dalam Melaksanakan Tugas
Disiplin muncul
dari kebiasaan hidup dan kehidupan belajar yang teratur serta mencinta dan
menghargai pekerjaannya. Disiplin memerlukan proses pendidikan dan pelatihan
yang memadai. Untuk itu, guru Pendidikan Agama Islam memerlukan pemahaman
tentang landasan ilmu kependidikan dan keguruan, sebab dewasa ini terjadi erosi
sopan santun dan erosi disiplin dalam melaksanakan proses pendidikan, baik yang
dilakukan oleh peserta didik maupun oleh para pendidik.
2.
Ulet
dan tekun Bekerja
Keuletan dan
ketekunan bekerja tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih merupakan hal yang
harus dimiliki oleh seorang guru Pendidikan Agama Islam.
Siswa akan
memperoleh imbalan dari guru yang menampilkan pribadi utuh yang bekerja tanpa
mengenal lelah dan tanpa pamrih. Guru tidak akan berputus asa apabila
menghadapi kegaglan, dan akan terus berusaha mengatasinya.
Guru juga harus
ulet dan tekun dalam bekerja sehingga program pendidikan yang telah digariskan
dalam kurikulum yang telah ditetpkan berjalan sebagaimana mestinya.
Keuletan dan
ketekunan bekerja merupakan factor pendorong keberhasilan. Demikian juga dalam
proses belajar mengajar, ketekunan dan keuletan yang dimiliki guru merupakan
salah satu pendorong keberhasilan proses belajar mengajar.
3.
Simpatik
dan menarik, Luwes, Bijaksana, dan Sederhanadalam Bertindak
Sifat-sifat ini
memerlukan kematangan pribadi, kedewasaan social dan emosional, pengalaman
hidup bermasyarakat, dan pengalaman belajar yang memadai, khususnya pengalaman
dalam prakter mengajar. Oleh karena itu, guru harus menguasai benar hal yang
berhubungan dengan sifat tersebut diatas.
Guru Pendidikan
Agama Islam harus simpatik karena dengan sifat ini ia akan disenangi oleh para
siswa, dan jika menyukai gurunya, sudah barang tentu pelajarannya pun akan
disenangi pula. Demikian juga di dalam melaksanakan proses belajar mengajar,
guru harus menarik. Dengan daya tarik yang diungkapkan oleh guru, motivasi
belajar siswa akan lebih meningkat.
Keluesan
merupakan factor pendukung untuk disenangi para siswa dalam proses belajar
mengajar karena dengan sifat ini guru akan mampu bergaul dan berkomunikasi
dengan baik dengan sesame teman sejawat.
Kebijaksanaan
dan kesederhanaan akan menjalin keterkaitan batin guru dengan siswa. Dengan
adanya keterkaitan tersebut, guru akan mampu mengendalikan proses belajar
mengajar yang diselenggarakan.
4.
Berwibawa
Kewibawaan
harus dimiliki oleh guru, sebab, dengan kewibawaan, proses belajar mengajar
akan terlaksana dengan baik, berdisiplin, dan tertib. Dengan demikian
kewibawaan bukan berarti siswa harus takut kepada guru, melainkan siswa akan
taat dan patuh pada peraturan yang berlaku sesuai dengan apa yang dijelaskan
oleh guru.[2]
A.Tanggung Jawab Moral Guru Pendidikan
Agama Islam dalam Dunia Pendidikan
Eksistensi guru
dalam proses pendidikan dan pembelajaran tidak berbeda dengan air untuk ikan
didalam akuarium. Sedemikian pentingnya sehingga jika tidak ada, kehidupn
didalam akuarium tersebut tidak dapat berlangsung. Guru adalah sosok yang mampu
menciptakan sebuah kondisi khusus pada kehidupan eseorang, khususnya terkait
dengan kemampuan menghadapi kondisi kehidupan di masyarakat. Dengan mengikuti
proses yang diselenggarakan guru, proses pendidikan, dan pembelajaran, ada
banyak manfaat yang dapat diperoleh seseorang sehingga hal tersebut dapat
meningkatkan kualitas kompetensi dirinya.
Kita tidak
dapat meragukan lagi masalah peran serta guru dalam upaya menciptakan kehidupan
yang lebih baik. Pada saat anak mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran,
pada saat itulah proses perubahan diri dimulai. Berbagai kondisi diadaptasi
sehingga sesuai dengan kondisi kehidupan di masyarakat. Hal ini terkait dengan
sifat dasar manusia, yaitu mempunyai egoisme tinggi. Setiap orang selalu
berusaha agar dirinya lebih baik dari yang lainnya dan yang lebih baik lagi,
setiap orang selalu ingin memenuhi kebutuhannya pribadi dan mengabaikan
kebutuhan orang lain. Tentunya, kondisi ini sangat tidak mendukung penciptaan
pola kehidupan bersama. Oleh guru, sikap dasar ini kemudian dikelola,
diarahkan, dan dibimbing untuk dapat luwes sehingga orang tidak lahi egois,
tetapi mengedepankan sifat sosialnya.
Manusia adalah
makhluk social sehingga sebenarnya didalam dirinya terselip suatu kondisi yang
tidak mau membiarkan orang lain susah atau kesulitan. Manusia secara naluriah
selalu berusaha agar orang-orang yang ada disekitarnya hidup baik, setidaknya
menurut kemampuan masing-masing. Sikap kepedulian ini ada pada setiap orang,
tetapi sikap dasar ini sering tertutup oleh sifat negative yang juga dimiliki
oleh manusia. Pada setiap manusia itu terdapat dua sifat dasar yang selalu
bertentangan. Ada sifat baik, ada sifat buruk. Ada sifat social, ada sifat
rakus. Semua itu bagian integral dari sosok manusia. Guru selalu mencoba untuk
mengondisikan hal tersebut sehingga dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat.
Dalam kehidupan
ini, kita memang tidak dapat mengabaikan eksitensi seorang guru. Hal ini karena
disetiap langkah kaki kita membutuhkan bimbingan orang lain agar tidak
tersesat. Dengan berdasar pada kegiatan tersebut, kita mengenal adanya kosep
belajar sepanjang hayat. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
اُطْلُبُوْاالْعِلْمَ
مِنَ الْمَهْدِ اِلَى اللَّحْدِ
Artinya:
“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai
liang lahat.”
Sebenarnya, pada setiap waktu hidup
kita, stiap millimeter perjalanan kaki kita, proses belajar telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Sepanjang kita hidup, sepanjang itu pula proses
belajar kita lakukan. Semua itu karena kita masih merasa masih selalu kurang
dan tidak benar. Proses belajar merupakan upaya untuk memperbaiki yang kurang
dan menambah yang belum kita miliki serta memperbaiki yang tidak benar. Belajar
merupakan proses yang dilakukan untuk mengubah kondisi negative menjadi
positif, itulah prinsip dasar proses belajar.
Dalam
kontek ini, guru mempunyai tugas dan sekaligus tanggung jawab yang sangat besar
untuk membawa orang-orang selalu berada pada jalur positif dan meninggalkan
jalur negative dalam hidupnya. Setiap saat, ketika menyelenggarakan proses
pendidikan dan pembelajaran, atau ketika berinteraksi dengan orang-orang dalam
kehidupan bermasyarakat, guru selalu memberikan arahan pada jalur positif
tersebut. Memang itulah tugas dan kewajiban guru di dalam kehidupannya. Sebagai
sebuah tugas dan kewajiban, tanggungan tersebut bersifat moral bagi guru.
Artinya, guru mempunyai tanggung jawab atas kondisi moral masyarakatnya. Banyak
orang mengatakan bahwa jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Peribahasa ini merupakan sebuah ungkapan bahwa dalam kehidupannya guru
bertanggung jawab atas kondisi kehidupan moral masyarakatnya. Guru harus mampu
memberikan contoh terbaik untuk masyarakatnya agar kehidupan moralnya terjaga
dan menjadi brandingself bagi semua elemen masyarakat. Khususnya, pada
polakehidupan anak didik, pendidikan dan pengondisian moral anak didik adalah
tanggung jawab moral seorang guru.[1]
A.Fungsi dan Tugas Guru Pendidikan
Agama Islam
Al-Qur’an
menyatakan bahwa tidak sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu, seperti apa yag tertera dalam firman Allah SWT :
Artinya :
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.” (QS.Al-Zumar
: 9)
Dan Allah SWT juga mendukung orang yang berilmu pada
kedudukan yang paling mulia, sebagaimana firmah Allah SWT yang berbunyi :
Artinya :
“Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Sebab ilmu berpengaruh bagi tegaknya suatu bangsa. Muhammad
Abduh, menegaskan bahwa jika suatu bangsa disinari oleh cahaya ilmu, maka
niscaya semua jalan akan terbuka, semua solusi bagi problematika kehidupan akan
jelas, dan dengan ilmu, bangsa itu akan menjadi istimewa dan dengan cepat dapat
melepaskan diri dari himpitan krisis dan keesengsaraan.[1]
Manusia sebagai pemangku jabatan khalifah Allah SWT, wajib
secara individual untuk mencari ilmu. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اُطْلُبُوْاالْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنَ فَاِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ اِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَضَعُ اَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ
الْعِلْمِ رِضًابِمَا يَطْلُبُ
Artinya:
“Tuntutlah ilmu walaupun di negeri
Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut
ilmu karena senang (rela) dengan yang ia tuntut. (H.R. Ibnu Abdil Bar).
Ilmu itu harus dicari dan
diusahakan, bukan menunggu. Pada dasarnya, manusia itu diciptakan untuk
memperoleh segala sesuatu dengan usaha. Tidak dengan cara instan. Tidak dengan
gulipatan tangan sekejap. Melainkan, dengan proses yang berlangsung cukup lama,
suatu usaha yang tidak kenal lelah dan putus asa terhadap perjalanan
sunnah-Nya. Sebab, sikap peimis dan putu asa hanya akan menyebabkan manusia
mengingkari adanya kebenaran, kebebesan, dan tanggung jawab.
Secara
konseptual, kewajiban mencari ilmu berarti pentingnya bangunan masyarakat
pembelajar (learner society) yang meniscayakan munculnya “revolusi pemikiran
keagamaan” dan secara esensial bagi terwujudnya “revolusi kebudayaan” yang
komperhensif. Komunitas pembelajar di dalam Al-Qur’an disebut “Ulul Albab”.
Makna
lebih jelas dari kata Ulul Albabnampak pada QS Ali Imron ayat 189-190 :
Artinya :
189.
kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas
segala sesuatu.
190.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
Terbentuknya
komunitas pembelajar (ulul al-albab), senantiasa dilekatkan dengan
pergumulan tiga hal, yaitu tradisi, peran, dan konteks. Dialektika interaktif
ketiga konstruksi ini kemudian melahirkan seorang pribadi pembelajar. Maka,
dalam konteks PAI yang diacu kea rah pembentukan pribadi pembelajar
meniscayakan strategi dan metode pembelajaran yang mampu menradisikan,
memerankan, dan menciptakan lingkungan (konteks) keagamaan secara kaffah.
Manifestasi
pribadi pembelajar (ulul al-albab) dengan ciri pengabdian yang utuh
kepada Allah dan pengaktualisasian potensi di dunia nyata, oleh dan untuk siswa
(anak didik) perlu dibelajarkan (ditradisikan) sejak dini, khususnya orang tua
dan guru karena siswa semula belajar meniru, mana yang baik dan yang buruk,
dari orang tua dan guru. Guru dan orang tua, dalam konteks pembelajaran PAI,
merupakan “dewa” yang mengilhami sikap dan perbuatan siswa.
Maka,
strategi dan metode pembelajaran haru bisa memuaskan akal siswa. Yaitu,
strategi dan metode yang bisa membangkitkan kesadarannya melalui sentuhan
emosional, di samping juga memusatkan kecendrungan dan minatnya kepada hal-hal
yang baik. Oleh karena itu, guru tidak boleh memandang pembelajaran PAI sebagai
kumpulan nasehat yang bersifat teoritis semata, melainkan juga guru harus
mengarahkan perilaku siswa menjadi kebiasaan-kebiasaan, ketrampilan-ketrampilan,
dan perangai yang dicita-citakan. Guru harus bisa memanfaatkan setiap
kesempatan untuk menyoalisasikan kesadaran beragama, menumbuhkan semangat agama
yang benar, sebaliknya mengungkapkan praktik-praktik beragama yang sesat dan
menggugah perhatiann siswa utuk keluar dari perilaku beragama yang salah.
Yang
pasti, guru PAI harus bisa ,emghadirkan cara padu dan kreatif mendidik siswa
berlandaskan pemahaman mendalam atas seluk-beluk psikologi siswanya, dengan
mengintegrasikan pembelajaran PAI kepada mata pelajaran-mata pelajaran yang
lain secara signifikan. Cara padu (integrasi) dan kretif merupakan kunci
keberhasilan guru mendulang siswa menjadi manusia yang senantiasa haus akan
ilmu dan kebaikan masa depan.
A.
Mengembangkan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam
Mencari guru yang ideal memang sulit ditemukan, apalagi guru
Pendidikan Agama Islam. Namun kita bisa menerka profilnya. Guru idaman
merupakan produk dari keseimbangan (balance) antara penguasaan aspek keguruan
dan disiplin ilmu.[1]
Kedua aspek ini tidaklah perlu dipertentangkan. Akan tetapi, bagaimana dua
aspek ini dijadikan amunisi bagi penempaan guru yang professional secara utuh
dan berkualitas yang penuh tanggung jawab dalam konteks personal, sosial, dan
professional. Sebab, profesionalisme keguruan
bukan hanya memproduksi siswa menjadi pintar dan skilled, akan tetapi
bagaimana mengembangakan potensi-potensi yang dimiliki siswa menjadi actual dan
juga menjadikan siswa berakhlakul karimah yang sesuai pada tuntunan agama.
Disinilah kepribadian profesioanal guru Pendidikan Agama Islam diidamkan.[2]
Melihat mulia dan agungnya profesi guru, menyaratkannya
untuk senantiasa mengembangkan profesionalitas yang dimilikinya melalui proses
pembelajaran yang tak kenal waktu (life long education) sehingga dengan
demikian, di harapkan guru mampu memberikan layanan yang optimal pada siswa. Di
sini lahirlah paradigma bahwa kelas bukanlah sarana bagi guru melakukan
pertuunjukan kemampuan ilmunya, melainkan sarana bagi siswa untuk belajar.
Paradigm demikian menyarankan guru untuk memberi siswa kesempatan untuk belajar
seluas-luasnya dan peerteaching teman sebaya supaya mereka bisa saling
mengisi satu sama lain.
Membaca udang-udang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok
kepegawaian, profesi guru menyandang dua jeis kepegawaian sekaligus, yaitu
jabatan structural dan jabatan fungsional. Secara structural, keberadaan guru
haru sesuai dengan kebutuhan pendidikan, rekruitmen, penempatan, dan pemerataan
penyebarannya, serta pembinaan karir dan perbaikan system imbalan serta
kesejahteraannya. Mengembangkan profesi guru harus disesuaikan dengan hal itu
semua untuk memastikan bahwa sumber daya yang disiaapkan oleh lembaga
pendidikan guru sesuai dengan kebutuhan di lapangan, baik jumlah, spesialisasi
bidang keahlian maupun penyebarannya, dan hanya calon-calon guru yang
berkelayakan akademik dan professional yang direkrut sebagai guru. Melalui
pemantapan mekanisme kerja rekruitmen, penempatan, dan pemerataan sebaran guru
dan tenaga kependidikan yang professional inilah diangankan bahwa setiap anak
usia sekolah di semua wilayah Indonesia bisa memperoleh pendidikan dari guru-guru
professional yang memadahi, terlebih lagi pendidikan Agama Islam. Agar tercapai
insan yang ulul albab.
Sedngkan secara fungsional, guru berkewajiban secara penuh
tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan di sekolah. Jabatan fungsional
guru ini mengacu kepada keempat keinginan atau aktifitas, yakni :
1. Pendidikan
2. Proses belajar mengajar atau
bimbingan penyuluuhan
3. Pengembangan profesi
4. Penunjang proses belajar mengajar
atau bimbingan penyuluhan.[3]
Sebagai
jabatan fungsional, perkembangan guru lebih didasarkan pada disiplin kerja
serta prestasi kerja. Semua kegiatan profesionalnya dihargai atau
diperhitungkan dalam satuan angka kredit, yang secara kumulatif dan
proposional, menjadi takaran perjenjangan karirnya. Yang tergolong unsur utama
dalam penilaian angka kredit jabatan guru adlah pendidikan profesi, mutu
pengelolaan belajar mengajar, dan upaya serta hasil pengembangan profesi.
Sedangka, yang tergolong unsur penunjang adalah kegiatan pengabdian masyarakat
dan melaksanakan kegiatan pendukung pendidikan, misalnya mengikuti seminar,
lokakarya, dan lain sebagainnya.
Selain
jabatan structural dan fungsional di atas, guru juga mengemban amanah
organisasional. Makna organisasional disini lebih ideologis institusional dan
keperpihakan kepada nilai-nilai keguruan. Seorang guru yang professional,
sebagaimana layaknya intelektual, menyangga kebenaran-kebenaran profesi yang
dipangkunya dan sekaligus menebarkan kepada siswa. Satu hal yang tidak bisa
dipungkiri dari aspek organisasional ini adalah kehendak untuk berkelompok
(berorganisasi) yang didasari oleh perasaan yang sama, baik dalam bidng
pekerjaan/profesi maupun kesamaan nasib berupa hak dan kewajiban, tumbuh dan
berkembangnya organisasi sebagai wadah menampung dan menyalirkan aspirasi para
guru secara professional penting diadakan.[4]
Oleh
karena itu, dalam konteks pengembangan profesionalisme guru di sekolah kiranya
perlu dibentuk satu organisasi khusus bagi persatuan guru. Hal ini perlu untuk
menyamakan persepsi koseptual mekanisme actual pembelajaran yang baik di
sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Melalui organisasi khusus ini, diangankan
terciptanya holistika system pembelajaran yang integral dan optimal serta
professional. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) seharusnya memfasilitasi
anggota-anggotanya menuju profesionalisme yang sesungguhnya. karena itu perlu
disusun progam-progam keguruan sesuai dengan kebutuhan pengembangan diri guru
yang proprofessionalentunya, dengan pola pertimbangan pada skala prioritas
satuan kebutuhan dengan meminta konfirmasi dari para ahli di bidang keguruan
para guru yang mengenali dengan baik tuntutan profesinya serta yang berhasil
dalam kerjanya.
Situasi
dan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan program kerja organisasi profesi
keguruan mutlak dihadirkan. Untuk maksud itu, ada iga factor utama yang harus
diperhatikan, yaitu tersedianya dana, ditemukannya nara sumber yang berbobot
dan dedikatif dlam bidang keguruan, dan adanya tim pengelola organisasi profesi
keguruan yang cakap serta dedikatif. Tiga factor ini pin harus dikelola secara
professional dan proposional dengan menepikan tendensi proyek di dalamnya.
Yang
paling bertanggung jawab bagi pengembangan profeionalisme guru sesungguhnya
adalah fakultas/jurusan tarbiyah sebagai Lembaga Pendidikan Tenga Kependidikan
Islam (LPTKI). Jadi, sejak awal penempaan guru di Tarbiyah sudah harus
dimaksimalkan dan dioptimalkan, baik secara personal, social, maupun
profesionalitasnya.
[1] Mimbar
Pendidikan IKIP Bandung, No. 3/ September 1987
[2] H.
Syafruddin Nurdin dan M. Basyiruddin Usman, op. cit, hlm. 24
[3] Ahmad Barizi, Menjadi
Guru Unggul, AR-RUZZ Media, Jogjakarta, 2001, hlm 155
[4]
Hadari Nawai, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung,
1995), hlm 116
[1] Mahmud Khalifah
dan usamah Qutub, Menjadi guru yang Dirindu, Ziad Visi Media, Surakarta,
2009, hlm 41
[2] Drs Cece Wijaya
dan Drs . A. tabrani rusyan, Kemampuan dasar guru dalam Proses Belajar
Mengajar, PT remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm 13-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar