Selasa, 12 November 2013

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB GURU PENDIDIKAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Masalah besar yang dihadapi oleh pendidikan nasional, antara lain persoalan mutu, relevansi, efektifitas, dan efisiensi pendidikan. Masalah-masalah ini menimbulkan keresahan pada masyarakat yang sering kali terdengar. Keresahan tersebut harus segera ditanggapi secara serius dan egera dipecahkan demi suksesnya pendidikan yang juga berarti pembangunan bangsa.
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan kepada siswa mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang syarat dengan muatan nilai. Dalam konteks NKRI yang notabene mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, seharusnya PAI mendasari pendidikan-pendidikan lain,serta menjadi inti dan primadona bagi masyarakat, orang tua, dan peserta didik. Mata pelajaran PAI juga sebaiknya mendapat waktu yang proposional, bukan hanya di madrasah atau sekolah-sekolah yang bernuansa Islam, tetapi di sekolah umum. Demikian pula halnya dalam peningkatan mutu pendidikan, PAI harus dijadikan tolak ukur dalam membentuk watak dan kepribadian peserta didik serta membangun moral bangsa (nation character building).
Oleh sebab itu peran seorang guru Pendidikan Agama Islam sangatlah penting dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena seorang tenaga pendidik PAI bertugas untuk mengembangkan suatu system perbaikan yang berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan perbaikan mutu yang berkelanjutan (continuous quality improvement), karena sampai sekarang tampak bahwa perbaikan yang dilakukan hanya bersifat parsial dan tambal sulam. Hal iniperlu ditekankan lagi jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang sedang berubah, sebagai akibat dari percepatan arus informasi, dan globalisasi.
Kemudian bagaimana tugas dan tanggung jawab seorang guru Pendidikan Agama Islam akan diterangkan secara mendetail di keterangan yang lebih lanjut di makalah ini.
1.2       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana karakter guru Pendidikan Agama Islam ?
2.    Bagaimana tanggung jawab moral guru Pendidikan Agama Islam dalam dunia pendidikan ?
3.    Apa fungsi dan tugas guru Pendidikan Agama Islam ?
4.    Bagaimana mengembangkan profesionalisme guru Pendidikan Agama Islam ?

1.3       Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan bagaimana sebenarnya karakter guru Pendidikan Agama Islam
2.    Menjelaskan dan menguraikan apa saja tugas dan fungsi guru Pendidikan Agama Islam
3.    Menjelaskan apa tujuan dari guru Pendidikan Agama Islam
4.    Menjelaskan bagaimana cara mengembangkan profesionalisme guru Pendidikan Agama Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A.Karakter Guru Pendidikan Agama Islam
Disini saya selaku pemakalah akan menjelaskan beberapa perilaku guru Muslim sebagai suri teladan bagi orang lain. Juga, untuk menjelaskan beberapa kekurangan dan cara mengatasinya secara gambling demi menggapai kesempurnaan manfaat yang aada.
Sikap guru muslim dalam berpakaian. Sangat disayangkan, ada beberapa guru yang berpakaian namun tidak disesuaikan dengan usiannya, sehingga para murid merasa bahwa tidak ada perbedaan antara dirinya dengan gurunya. Warna pakaiannya sama, dan bentuknya pun tidak jauh berbeda. Penampilan guru yang seperti ini bisa mengurangi penghormatan para murid kepada dirinya.
Jika dilihat secara mendasar, sebenarnya asas hukum dalam semua bentuk pakaian dan berpakaian dalah halal selagi selagi tidak menyerupai lawan jenis. Yang terpenting dalam berpakaian adalah meutup aurat. Yang dimaksudkan adalah bahwasannya Islam tidk memaksa seseorang untuk memakai pakaian tertentu, namun Islam hanya menjelaskan sifat-sifat dari pakaian tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya :

Artinya :
“Hai anak Adam (umat manusia) Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa (selalu bertakwa kepada Allah) Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Oleh karena itu, dianjurkan kepada para guru untuk memakai pakaian yang rapid an tidak berlebih lebihan. Di samping itu, mereka juga dianjurkan untuk menjaga karakter fitrah, seperti memotong kuku, mencukur rambut, memotong kumis, dan sebagainya.
Kemudian para guru juga harus memilih kata-kata yang baik lagi santun. Janganlah seorang guru Pendidikan Agama Islam berucap kecuali untu mengeluarkan kata-kata yang indah lagi bernilai, karena murid-murod yang ada di hadapan seorang guru akan merekam kata-kata seorang guru di dalam memori ingatannya. Sebagaimana petuah Rasulullah SAW yang tertuang di dalam haditsnya :
 
Artinya :
“Sesungguhnya diantara kalian ada yang mengucapkan kata-kata (baik) yang diridhai Allah, dan tidak tahu kadar derajat kemuliaan kata-kata itu. Maka dengan kata-kata tersebut, Allah melimpahkan ridha-Nya kepada oaring itu hingga hari perjumpaan nanti (hari kiamat). Dan sesungguhnya diantara kalian ada yang mengucapkan kata-kata (buruk yang dimurkai Allah, dan tidak tahu derajat kehinaan kata-kata itu. Maka dengan kata-kata tersebut, Allah menetapkan murka-Nya kepada orang tersebut hingga hari perjumpaan nanti (hari kiamat)” (HR. at-Tirmidzi)
Kemudian adapun juga karakteristik seorang guru muslim ialah :
1.      Ruhiyah dan akhlakiyah. Hal ini di ejawantahkan dengan beriman kepada Allah, beriman kepada Qadha’ dan Qadar Allah SWT, beriman dengan nilai-nilai Islam yang abadi, melakukan perintah-perinyah yang di wajibkan agama dan menjauhi segala yang dilarang agama, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
2.      Asas dan penompang guru dalam mengajar adalah untuk menyebarkan ilmu dan demi merengkuh pahala akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Sampaikanlah ilmu yang berasal dariku (kepada umat manusia) walaupun hanya satu kalimat.”
3.      Tidak emosional. Yang dimaksud ialah mampu mengekang diri, meredam kemarahan, teguh pendirian, dan jauh dari sikap sembrono (sikap yang tidak didasari dengan pemikiran matang).
4.      Rasional. Sifat seperti pandai, mampu untuk menyelesaikan permasalahan dengan baik, cerdas dan cekatan, serta kuat daya ingatannya.
5.      Sosial. Yang termasuk dalam sifat ini adalah menjalin hubungan baik dengan orang lain, baik dikala senang maupun susah, khususnya dengan orang-orang yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan.
6.      Fisik yang sehat. Yang dimaksud dengan sifat ini adalah kesehatan badan, ketangkasan tubuh, dan keindahan fisik.
7.      Profesi. Yang termasuk dalam sifat ini adalah keinginan dan kecintaan yang tulus untuk mengajar, serta yakin atas manfaat dari pengabdiannya terhadap masyarakat.[1]
Selain itu juga, dalam proses belajar mengajar, guru pendidikan Agama Islam juga memegang peran sebagai sutradara sekaligus actor. Artinya, pada gurulah terletak keberhasilan proses belajar megajar. Untuk itu guru merupakan factor yang dominan dalam menentukan keberhasilan proses belajae mengajar, di samping factor-faktor lainnya.
Dengan demikian, untuk mencapai keberasilan tersebut, seorang guru Pendidikan Agama Islam harus memiliki kemampuan dasar dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu kemampuan tersebut adalah kemampuan pribadi guru itu sendiri.
Kemampuan pribadi giri dalam proses belajar mengajar secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Berdisiplin dalam Melaksanakan Tugas
Disiplin muncul dari kebiasaan hidup dan kehidupan belajar yang teratur serta mencinta dan menghargai pekerjaannya. Disiplin memerlukan proses pendidikan dan pelatihan yang memadai. Untuk itu, guru Pendidikan Agama Islam memerlukan pemahaman tentang landasan ilmu kependidikan dan keguruan, sebab dewasa ini terjadi erosi sopan santun dan erosi disiplin dalam melaksanakan proses pendidikan, baik yang dilakukan oleh peserta didik maupun oleh para pendidik.
2.      Ulet dan tekun Bekerja
Keuletan dan ketekunan bekerja tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih merupakan hal yang harus dimiliki oleh seorang guru Pendidikan Agama Islam.
Siswa akan memperoleh imbalan dari guru yang menampilkan pribadi utuh yang bekerja tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih. Guru tidak akan berputus asa apabila menghadapi kegaglan, dan akan terus berusaha mengatasinya.
Guru juga harus ulet dan tekun dalam bekerja sehingga program pendidikan yang telah digariskan dalam kurikulum yang telah ditetpkan berjalan sebagaimana mestinya.
Keuletan dan ketekunan bekerja merupakan factor pendorong keberhasilan. Demikian juga dalam proses belajar mengajar, ketekunan dan keuletan yang dimiliki guru merupakan salah satu pendorong keberhasilan proses belajar mengajar.
3.      Simpatik dan menarik, Luwes, Bijaksana, dan Sederhanadalam Bertindak
Sifat-sifat ini memerlukan kematangan pribadi, kedewasaan social dan emosional, pengalaman hidup bermasyarakat, dan pengalaman belajar yang memadai, khususnya pengalaman dalam prakter mengajar. Oleh karena itu, guru harus menguasai benar hal yang berhubungan dengan sifat tersebut diatas.
Guru Pendidikan Agama Islam harus simpatik karena dengan sifat ini ia akan disenangi oleh para siswa, dan jika menyukai gurunya, sudah barang tentu pelajarannya pun akan disenangi pula. Demikian juga di dalam melaksanakan proses belajar mengajar, guru harus menarik. Dengan daya tarik yang diungkapkan oleh guru, motivasi belajar siswa akan lebih meningkat.
Keluesan merupakan factor pendukung untuk disenangi para siswa dalam proses belajar mengajar karena dengan sifat ini guru akan mampu bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan sesame teman sejawat.
Kebijaksanaan dan kesederhanaan akan menjalin keterkaitan batin guru dengan siswa. Dengan adanya keterkaitan tersebut, guru akan mampu mengendalikan proses belajar mengajar yang diselenggarakan.
4.      Berwibawa
Kewibawaan harus dimiliki oleh guru, sebab, dengan kewibawaan, proses belajar mengajar akan terlaksana dengan baik, berdisiplin, dan tertib. Dengan demikian kewibawaan bukan berarti siswa harus takut kepada guru, melainkan siswa akan taat dan patuh pada peraturan yang berlaku sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh guru.[2]

A.Tanggung Jawab Moral Guru Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Pendidikan
Eksistensi guru dalam proses pendidikan dan pembelajaran tidak berbeda dengan air untuk ikan didalam akuarium. Sedemikian pentingnya sehingga jika tidak ada, kehidupn didalam akuarium tersebut tidak dapat berlangsung. Guru adalah sosok yang mampu menciptakan sebuah kondisi khusus pada kehidupan eseorang, khususnya terkait dengan kemampuan menghadapi kondisi kehidupan di masyarakat. Dengan mengikuti proses yang diselenggarakan guru, proses pendidikan, dan pembelajaran, ada banyak manfaat yang dapat diperoleh seseorang sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kompetensi dirinya.
Kita tidak dapat meragukan lagi masalah peran serta guru dalam upaya menciptakan kehidupan yang lebih baik. Pada saat anak mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, pada saat itulah proses perubahan diri dimulai. Berbagai kondisi diadaptasi sehingga sesuai dengan kondisi kehidupan di masyarakat. Hal ini terkait dengan sifat dasar manusia, yaitu mempunyai egoisme tinggi. Setiap orang selalu berusaha agar dirinya lebih baik dari yang lainnya dan yang lebih baik lagi, setiap orang selalu ingin memenuhi kebutuhannya pribadi dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Tentunya, kondisi ini sangat tidak mendukung penciptaan pola kehidupan bersama. Oleh guru, sikap dasar ini kemudian dikelola, diarahkan, dan dibimbing untuk dapat luwes sehingga orang tidak lahi egois, tetapi mengedepankan sifat sosialnya.
Manusia adalah makhluk social sehingga sebenarnya didalam dirinya terselip suatu kondisi yang tidak mau membiarkan orang lain susah atau kesulitan. Manusia secara naluriah selalu berusaha agar orang-orang yang ada disekitarnya hidup baik, setidaknya menurut kemampuan masing-masing. Sikap kepedulian ini ada pada setiap orang, tetapi sikap dasar ini sering tertutup oleh sifat negative yang juga dimiliki oleh manusia. Pada setiap manusia itu terdapat dua sifat dasar yang selalu bertentangan. Ada sifat baik, ada sifat buruk. Ada sifat social, ada sifat rakus. Semua itu bagian integral dari sosok manusia. Guru selalu mencoba untuk mengondisikan hal tersebut sehingga dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat.
Dalam kehidupan ini, kita memang tidak dapat mengabaikan eksitensi seorang guru. Hal ini karena disetiap langkah kaki kita membutuhkan bimbingan orang lain agar tidak tersesat. Dengan berdasar pada kegiatan tersebut, kita mengenal adanya kosep belajar sepanjang hayat. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
اُطْلُبُوْاالْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَى اللَّحْدِ

Artinya:
 “Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat.”
Sebenarnya, pada setiap waktu hidup kita, stiap millimeter perjalanan kaki kita, proses belajar telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Sepanjang kita hidup, sepanjang itu pula proses belajar kita lakukan. Semua itu karena kita masih merasa masih selalu kurang dan tidak benar. Proses belajar merupakan upaya untuk memperbaiki yang kurang dan menambah yang belum kita miliki serta memperbaiki yang tidak benar. Belajar merupakan proses yang dilakukan untuk mengubah kondisi negative menjadi positif, itulah prinsip dasar proses belajar.
Dalam kontek ini, guru mempunyai tugas dan sekaligus tanggung jawab yang sangat besar untuk membawa orang-orang selalu berada pada jalur positif dan meninggalkan jalur negative dalam hidupnya. Setiap saat, ketika menyelenggarakan proses pendidikan dan pembelajaran, atau ketika berinteraksi dengan orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat, guru selalu memberikan arahan pada jalur positif tersebut. Memang itulah tugas dan kewajiban guru di dalam kehidupannya. Sebagai sebuah tugas dan kewajiban, tanggungan tersebut bersifat moral bagi guru. Artinya, guru mempunyai tanggung jawab atas kondisi moral masyarakatnya. Banyak orang mengatakan bahwa jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa ini merupakan sebuah ungkapan bahwa dalam kehidupannya guru bertanggung jawab atas kondisi kehidupan moral masyarakatnya. Guru harus mampu memberikan contoh terbaik untuk masyarakatnya agar kehidupan moralnya terjaga dan  menjadi brandingself  bagi semua elemen masyarakat. Khususnya, pada polakehidupan anak didik, pendidikan dan pengondisian moral anak didik adalah tanggung jawab moral seorang guru.[1]
A.Fungsi dan Tugas Guru Pendidikan Agama Islam
Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, seperti apa yag tertera dalam firman Allah SWT :

Artinya :
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS.Al-Zumar : 9)
Dan Allah SWT juga mendukung orang yang berilmu pada kedudukan yang paling mulia, sebagaimana firmah Allah SWT yang berbunyi :
Artinya :
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sebab ilmu berpengaruh bagi tegaknya suatu bangsa. Muhammad Abduh, menegaskan bahwa jika suatu bangsa disinari oleh cahaya ilmu, maka niscaya semua jalan akan terbuka, semua solusi bagi problematika kehidupan akan jelas, dan dengan ilmu, bangsa itu akan menjadi istimewa dan dengan cepat dapat melepaskan diri dari himpitan krisis dan keesengsaraan.[1]
Manusia sebagai pemangku jabatan khalifah Allah SWT, wajib secara individual untuk mencari ilmu. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اُطْلُبُوْاالْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنَ فَاِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ اِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَضَعُ اَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًابِمَا يَطْلُبُ 

Artinya:
“Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu karena senang (rela) dengan yang ia tuntut. (H.R. Ibnu Abdil Bar).
Ilmu itu harus dicari dan diusahakan, bukan menunggu. Pada dasarnya, manusia itu diciptakan untuk memperoleh segala sesuatu dengan usaha. Tidak dengan cara instan. Tidak dengan gulipatan tangan sekejap. Melainkan, dengan proses yang berlangsung cukup lama, suatu usaha yang tidak kenal lelah dan putus asa terhadap perjalanan sunnah-Nya. Sebab, sikap peimis dan putu asa hanya akan menyebabkan manusia mengingkari adanya kebenaran, kebebesan, dan tanggung jawab.
Secara konseptual, kewajiban mencari ilmu berarti pentingnya bangunan masyarakat pembelajar (learner society) yang meniscayakan munculnya “revolusi pemikiran keagamaan” dan secara esensial bagi terwujudnya “revolusi kebudayaan” yang komperhensif. Komunitas pembelajar di dalam Al-Qur’an disebut “Ulul Albab”.
Makna lebih jelas dari kata Ulul Albabnampak pada QS Ali Imron ayat 189-190 :

Artinya :
189. kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

Terbentuknya komunitas pembelajar (ulul al-albab), senantiasa dilekatkan dengan pergumulan tiga hal, yaitu tradisi, peran, dan konteks. Dialektika interaktif ketiga konstruksi ini kemudian melahirkan seorang pribadi pembelajar. Maka, dalam konteks PAI yang diacu kea rah pembentukan pribadi pembelajar meniscayakan strategi dan metode pembelajaran yang mampu menradisikan, memerankan, dan menciptakan lingkungan (konteks) keagamaan secara kaffah.
Manifestasi pribadi pembelajar (ulul al-albab) dengan ciri pengabdian yang utuh kepada Allah dan pengaktualisasian potensi di dunia nyata, oleh dan untuk siswa (anak didik) perlu dibelajarkan (ditradisikan) sejak dini, khususnya orang tua dan guru karena siswa semula belajar meniru, mana yang baik dan yang buruk, dari orang tua dan guru. Guru dan orang tua, dalam konteks pembelajaran PAI, merupakan “dewa” yang mengilhami sikap dan perbuatan siswa.
Maka, strategi dan metode pembelajaran haru bisa memuaskan akal siswa. Yaitu, strategi dan metode yang bisa membangkitkan kesadarannya melalui sentuhan emosional, di samping juga memusatkan kecendrungan dan minatnya kepada hal-hal yang baik. Oleh karena itu, guru tidak boleh memandang pembelajaran PAI sebagai kumpulan nasehat yang bersifat teoritis semata, melainkan juga guru harus mengarahkan perilaku siswa menjadi kebiasaan-kebiasaan, ketrampilan-ketrampilan, dan perangai yang dicita-citakan. Guru harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyoalisasikan kesadaran beragama, menumbuhkan semangat agama yang benar, sebaliknya mengungkapkan praktik-praktik beragama yang sesat dan menggugah perhatiann siswa utuk keluar dari perilaku beragama yang salah.
Yang pasti, guru PAI harus bisa ,emghadirkan cara padu dan kreatif mendidik siswa berlandaskan pemahaman mendalam atas seluk-beluk psikologi siswanya, dengan mengintegrasikan pembelajaran PAI kepada mata pelajaran-mata pelajaran yang lain secara signifikan. Cara padu (integrasi) dan kretif merupakan kunci keberhasilan guru mendulang siswa menjadi manusia yang senantiasa haus akan ilmu dan kebaikan masa depan.

A. Mengembangkan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam
Mencari guru yang ideal memang sulit ditemukan, apalagi guru Pendidikan Agama Islam. Namun kita bisa menerka profilnya. Guru idaman merupakan produk dari keseimbangan (balance) antara penguasaan aspek keguruan dan disiplin ilmu.[1] Kedua aspek ini tidaklah perlu dipertentangkan. Akan tetapi, bagaimana dua aspek ini dijadikan amunisi bagi penempaan guru yang professional secara utuh dan berkualitas yang penuh tanggung jawab dalam konteks personal, sosial, dan professional. Sebab, profesionalisme keguruan  bukan hanya memproduksi siswa menjadi pintar dan skilled, akan tetapi bagaimana mengembangakan potensi-potensi yang dimiliki siswa menjadi actual dan juga menjadikan siswa berakhlakul karimah yang sesuai pada tuntunan agama. Disinilah kepribadian profesioanal guru Pendidikan Agama Islam diidamkan.[2]
Melihat mulia dan agungnya profesi guru, menyaratkannya untuk senantiasa mengembangkan profesionalitas yang dimilikinya melalui proses pembelajaran yang tak kenal waktu (life long education) sehingga dengan demikian, di harapkan guru mampu memberikan layanan yang optimal pada siswa. Di sini lahirlah paradigma bahwa kelas bukanlah sarana bagi guru melakukan pertuunjukan kemampuan ilmunya, melainkan sarana bagi siswa untuk belajar. Paradigm demikian menyarankan guru untuk memberi siswa kesempatan untuk belajar seluas-luasnya dan peerteaching teman sebaya supaya mereka bisa saling mengisi satu sama lain.
Membaca udang-udang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok kepegawaian, profesi guru menyandang dua jeis kepegawaian sekaligus, yaitu jabatan structural dan jabatan fungsional. Secara structural, keberadaan guru haru sesuai dengan kebutuhan pendidikan, rekruitmen, penempatan, dan pemerataan penyebarannya, serta pembinaan karir dan perbaikan system imbalan serta kesejahteraannya. Mengembangkan profesi guru harus disesuaikan dengan hal itu semua untuk memastikan bahwa sumber daya yang disiaapkan oleh lembaga pendidikan guru sesuai dengan kebutuhan di lapangan, baik jumlah, spesialisasi bidang keahlian maupun penyebarannya, dan hanya calon-calon guru yang berkelayakan akademik dan professional yang direkrut sebagai guru. Melalui pemantapan mekanisme kerja rekruitmen, penempatan, dan pemerataan sebaran guru dan tenaga kependidikan yang professional inilah diangankan bahwa setiap anak usia sekolah di semua wilayah Indonesia bisa memperoleh pendidikan dari guru-guru professional yang memadahi, terlebih lagi pendidikan Agama Islam. Agar tercapai insan yang ulul albab.
Sedngkan secara fungsional, guru berkewajiban secara penuh tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan di sekolah. Jabatan fungsional guru ini mengacu kepada keempat keinginan atau aktifitas, yakni :
1.      Pendidikan
2.      Proses belajar mengajar atau bimbingan penyuluuhan
3.      Pengembangan profesi
4.      Penunjang proses belajar mengajar atau bimbingan penyuluhan.[3]
Sebagai jabatan fungsional, perkembangan guru lebih didasarkan pada disiplin kerja serta prestasi kerja. Semua kegiatan profesionalnya dihargai atau diperhitungkan dalam satuan angka kredit, yang secara kumulatif dan proposional, menjadi takaran perjenjangan karirnya. Yang tergolong unsur utama dalam penilaian angka kredit jabatan guru adlah pendidikan profesi, mutu pengelolaan belajar mengajar, dan upaya serta hasil pengembangan profesi. Sedangka, yang tergolong unsur penunjang adalah kegiatan pengabdian masyarakat dan melaksanakan kegiatan pendukung pendidikan, misalnya mengikuti seminar, lokakarya, dan lain sebagainnya.
Selain jabatan structural dan fungsional di atas, guru juga mengemban amanah organisasional. Makna organisasional disini lebih ideologis institusional dan keperpihakan kepada nilai-nilai keguruan. Seorang guru yang professional, sebagaimana layaknya intelektual, menyangga kebenaran-kebenaran profesi yang dipangkunya dan sekaligus menebarkan kepada siswa. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari aspek organisasional ini adalah kehendak untuk berkelompok (berorganisasi) yang didasari oleh perasaan yang sama, baik dalam bidng pekerjaan/profesi maupun kesamaan nasib berupa hak dan kewajiban, tumbuh dan berkembangnya organisasi sebagai wadah menampung dan menyalirkan aspirasi para guru secara professional penting diadakan.[4]
Oleh karena itu, dalam konteks pengembangan profesionalisme guru di sekolah kiranya perlu dibentuk satu organisasi khusus bagi persatuan guru. Hal ini perlu untuk menyamakan persepsi koseptual mekanisme actual pembelajaran yang baik di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Melalui organisasi khusus ini, diangankan terciptanya holistika system pembelajaran yang integral dan optimal serta professional. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) seharusnya memfasilitasi anggota-anggotanya menuju profesionalisme yang sesungguhnya. karena itu perlu disusun progam-progam keguruan sesuai dengan kebutuhan pengembangan diri guru yang proprofessionalentunya, dengan pola pertimbangan pada skala prioritas satuan kebutuhan dengan meminta konfirmasi dari para ahli di bidang keguruan para guru yang mengenali dengan baik tuntutan profesinya serta yang berhasil dalam kerjanya.
Situasi dan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan program kerja organisasi profesi keguruan mutlak dihadirkan. Untuk maksud itu, ada iga factor utama yang harus diperhatikan, yaitu tersedianya dana, ditemukannya nara sumber yang berbobot dan dedikatif dlam bidang keguruan, dan adanya tim pengelola organisasi profesi keguruan yang cakap serta dedikatif. Tiga factor ini pin harus dikelola secara professional dan proposional dengan menepikan tendensi proyek di dalamnya.
Yang paling bertanggung jawab bagi pengembangan profeionalisme guru sesungguhnya adalah fakultas/jurusan tarbiyah sebagai Lembaga Pendidikan Tenga Kependidikan Islam (LPTKI). Jadi, sejak awal penempaan guru di Tarbiyah sudah harus dimaksimalkan dan dioptimalkan, baik secara personal, social, maupun profesionalitasnya.





[1] Mimbar Pendidikan IKIP Bandung, No. 3/ September 1987
[2] H. Syafruddin Nurdin dan M. Basyiruddin Usman, op. cit, hlm. 24
[3] Ahmad Barizi, Menjadi Guru Unggul, AR-RUZZ Media, Jogjakarta, 2001, hlm 155
[4] Hadari Nawai, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995), hlm 116
 



[1] Ahmad Barizi, Menjadi Guru Unggul, AR-RUZZ Media, Jogjakarta, 2001, hlm 61
 



[1][1] Mohammad Saroni, Personal Branding Guru, AR-RUZZ Media, Jogjakarta, 2011, hlm 75-79



[1] Mahmud Khalifah dan usamah Qutub, Menjadi guru yang Dirindu, Ziad Visi Media, Surakarta, 2009, hlm 41

[2] Drs Cece Wijaya dan Drs . A. tabrani rusyan, Kemampuan dasar guru dalam Proses Belajar Mengajar, PT remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm 13-19




Tidak ada komentar:

Posting Komentar